MAKALAH
AHLU SUNNAH WALJAMA’AH
“MENDAHULUKAN
SYAR’I DIBANDING AKAL”
Dosen Pengampu :
Dr.H.Koko Komarudin M.Pd.

Disusun Oleh :
FAQIH
HUSAINI AZIZ
PRODI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS
JAWA BARAT
2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Ridha dan Inayah-Nya lah kami
dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran dan
diharapkan kepada seluruh pembaca dapat memahami tentang hal-hal yang berkaitan
dengan materi yang disampaikan yakni tentang “Mendahulukan Syar’I disbanding Akal”.
Kami sangat menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan kekhilapan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca
Kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
terselenggaranya makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya, yang
tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu.
Semoga
makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua para pembaca,
aamiin.
Darussalam,
17 Desember 2017
Penyusun
KATA
PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR
ISI...................................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN...............................................................................................
A. LATAR
BELAKANG.........................................................................................
B. RUMUSAN
MASALAH.....................................................................................
C. TUJUAN
PENULISAN.......................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................................
A. PENGERTIAN SYAR’I......................................................................................
B. PENGERTIAN AKAL........................................................................................
C. WAJIB MENDAHULUKAN DALIL SYAR’I DARIPADA AKAL..............
D. ALASAN ASWAJA TIDAK MEMAKAI ILMU KALAM DAN FILSAFAT
E. ALASAN ASWAJA MENOLAK TERHADAP ORANG YANG MENGIKUTI
HAWA NAFSU...............................................................................................................................
BAB
III PENUTUP......................................................................................................
A.
KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akal adalah segala kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia
dibanding dengan makhluk-makhluknya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat
hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala ynag
dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar
yang tidak boleh dilewati.
Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam
semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang
tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu tidak akan ditolak.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa
pengertian dari syar’i ?
b.
Apa
pengertian akal ?
c.
Kenapa
wajib mendahulukan syar’i daripada akal ?
d.
Apa
alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat ?
e.
Apa
alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti hawa nafsu ?
C.
Tujuan
Penulisan
a.
Untuk
mengetahui pengertian dari syar’i
b.
Untuk
mengetahui pengertian akal
c.
Untuk
mengetahui kenapa wajib mendahulukan syar’i daripada akal
d.
Untuk
mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan
filsafat
e.
Untuk
mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti
hawa nafsu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syar’i
Kata
Syar’i atau Syar’i berdasarkan etimologi sendiri berarti perjalanan yang bisa
ditempuh di air, dengan kata lain yaitu jalan yang dapat dilalui oleh manusia
menuju Allah Swt. Sedangkan hukum syar’i bisa diartikan merupakan seperangkat
hukum atau peraturan dengan merujuk ketentuan dari Allah Swt.
Menurut istilah
dari ahli fiqh sendiri, pengertian hukum syar’i ini memiliki arti yaitu hukum
yang berkaitan atau berhubungan dengan manusia, tentunya yang dibicarakan
berdasarkan ilmu fiqh dan bukan termasuk hukum yang berkaitan dengan akhlak dan
akidah.
B.
Pengertian
Akal
Secara
bahasa ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah(kebijakan) atau juga bisa bermakna
tindakan yang baik dan tepat. Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir
yang diciptakan Allah ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu
berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah
Swt.
C.
Wajib
Mendahulukan Dalil Syar’i Daripada Akal
Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode
yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan
dengan akal, fikiran maupun tidak sesuai dengan perasaan. Maka wajib bagi untuk
mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan .
Mendahulukan
dalil syar’i atas dalil akal bukan berarti ahlus sunnah tidak menggunakan akal.
Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan aqidah mereka tidak menempuh cara
seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk
memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan
menolak dalil syar’i yang bertentangan dengan akal mereka. Imam Abul Muzhaffar
as-sam’ani rahimahullah (wafat th.489 H)ia mengatakan bahwa Madzhab ahlu sunnah
mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak
melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai
ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada
bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala
dan dosa.
Pandangan ahlussunnah tentang penggunaan akal, diantaranya :
1.
Akal
mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat
detail.
2.
Apa
yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
3.
Apa
yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.
4.
Akal
tidak dapat menentukan hukum atas
sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum dapat mengenal dan
memahami yang baik dan buruk.
5.
Balasan
atas pahala dan dosa ditentukan oleh syariat .
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan
al-Qur’an dan al-Hadits(syar’i) daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan
al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan
akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah
menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli
merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara
dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana
pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan
al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada
posisi sekunder.
Diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa
dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau
Sunnah Rasulullah SAW. baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa
yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada
umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat
Rasulullah dalam sabdanya.
"Artinya :
Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang
mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlussunnah walJama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun
terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul
Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka
mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut
dasar yang pertama yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang
diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Allah telah berfirman.
"Artinya :
Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa
: 59)
Akal merupakan nikmat mulia yang Alloh berikan kepada manusia, yang
membedakan mereka dari segala makhluk ciptaan-Nya, yang berfungsi sebagai alat
untuk berpikir dan memahami. Akan tetapi, ia memiliki keterbatasan sebagaimana
pandangan memiliki keterbatasan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah “Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana
pandangan mata juga memiliki batas. “
Oleh karenanya, Alloh SWT. dan Rosul-Nya tidak menjadikannya
sebagai pedoman dan landasan hukum dalam beragama, tetapi Alloh turunkan wahyu
(syari’at) untuk menuntun dan menerangi akal dalam memahami syari’at. Maka
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa akal bukanlah landasan beragama dan
sumber pengambilan hukum.tetapi, yang menjadi dalil dan landasan adalah wahyu
(al-Qur’an dan Sunnah). Inilah yang ditegaskan oleh ulama Syafi’iyyah. Berikut :
Al-Imam Abu Muzhoffar as-Sam’ani (wafat 489 H) berkata: “Perkataan
Ahlus Sunnah adalah sesungguhnya jalan (landasan) agama adalah as-sam’u (al-Qur’an
dan Sunnah) dan atsar, metode akal dan kembali kepadanya (kembali kepada akal
dan menjadikannya hakim bagi al-Qur’an dan as-Sunnah) serta membangun dalil di atasnya adalah tercela dan dilarang
dalam syari’at.
Al-Imam an-Nawawi berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh
Ahlus Sunnah adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at
dan bahwa akal tidaklah menetapkan sesuatu pun.” Masalah ini merupakan salah
satu pembeda antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok lainnya. Abul
Muzhoffar as-Sam’ani berkata, “Perbedaan mendasar antara (ahli sunnah) dengan
ahli bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas
akal dan menjadikan dalil mengikut kepada akal. Adapun Ahlus Sunnah berkata,
‘Asal dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanyalah mengikut.’
Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu
dan nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan, dan dia akan berbicara
sesukanya. Seandainya agama dibangun di atas akal maka konsekuensinya adalah
boleh bagi kaum mukminin untuk tidak menerima sesuatu sehingga menimbang
dengan akal mereka terlebih dahulu.”
Al-Imam Sa’ad az-Zanjani salah seorang ulama Syafi’iyyah (wafat 471
H) menjelaskan bahwa akal itu terbagi dua macam: Pertama: Akal yang diberi
taufiq, yaitu akal yang mengajak dan membimbing pemiliknya untuk menyetujui dan
menerima perintah agama, tunduk, dan pasrah terhadap keputusannya serta
meninggalkan larangan agama. Kedua: Akal yang dikekang dan dibelenggu oleh hawa
nafsu dan kehinaan, yaitu akal yang berusaha untuk menggapai sesuatu yang ia
tidak mampu untuk mengetahui dan memahaminya, sehingga membawa pemiliknya
kepada kebingungan, kesesatan, dan kesengsaraan.”
Ahlus Sunnah wal Jama’ah-lah yang mempunyai akal yang
sehat yang dibimbing oleh Allah sehingga mereka pergunakan akal tersebut untuk
memahami dalil dan menaati perintah agama. Adapun akal ahlul bid’ah adalah akal
yang sakit karena telah dikekang dan dibelenggu oleh hawa nafsu sehingga mereka
terjerumus ke dalam jurang kebatilan, kesesatan, dan keraguan. Wal ‘iyadzu
billah.
D.
Alasan Aswaja
Tidak Menggunakan Ilmu Kalam Dan Filsafat
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan
tiga alasan di balik larangan ulama salaf dalam mempelajari ilmu kalam, ketiga
alasan tersebut beliau simpulkan dari perkataan al-Imam
as-Syafi’i rahimahullah
1. Ilmu
kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan menyelisihi Sunnah dan
menyelisihi maksud Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena itu, seorang yang ingin
memahami al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mantiq maka tidak akan
menemukan selama-lamanya maksud syari’at. Oleh karenanya. al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah
manusia berada dalam kebodohan dan berselisih kecuali tatkala mereka
meninggalkan bahasa Arab dan cenderung (mempelajari) bahasa Aristoletes
(filsafat).”
2. Ilmu ini tidak pernah diajarkan
oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa Arab maka
sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari ulama salaf
yang membahasnya, dan inilah alasan yang dipegang oleh al-Imam Ibnu Sholah
dalam memfatwakan haramnya mempelajari mantiq, sebagaimana yang
beliau katakan, “Dan tidaklah kesibukan dalam mempelajari dan mengajarkannya
sesuatu yang diperbolehkan agama dan diperbolehkan oleh salah seorang sahabat,
tabi’in, dan para imam mujtahidin.” Dan kemungkinan Ibnu Sholah menarik alasan
ini dari perkataan al-Imam asy-Syafi’i kepada Bisyr al-Marrisi, “Jelaskan
kepadaku tentang apa yang kamu dakwakan? Apakah ada al-Qur’an
menjelaskan merupakan suatu kewajiban, apakah ada sunnah yang memerintahkan,
dan terdapat di kalangan salaf yang membahas dan menanyakannya?” Dia menjawab,
“Tidak ada, tetapi kami tidak boleh menyelisihinya.” Lalu al-Imam asy-Syafi’i
menjawab “Berarti kamu mengakui kesalahan untuk dirimu.”
3. Merupakan sebab meninggalkan
al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i telah mengisyaratkan kepada alasan
ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan
pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan (diarak)
ke kampung seraya dikatakan pada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang
berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/ filsafat.
E. Alasan Ahlussunah
Waljama’ah Menolak Terhadap Orang Yang Mengikuti Hawa Nafsu
Mengikuti
hawa nafsu dan apa yang disenanginya termasuk penghalang dari ittiba’ dan
sebab terbesar terjadinya penyimpangan dari kebenaran. Bahkan seluruh bid’ah dan maksiat muncul dengan sebab
didahulukannya hawa nafsu atas nash yang shahih. Hal itu karena tabiat jiwa
manusia selalu menginginkan dan cenderung kepada apa yang dia sukai dan
senangi. Dan sangat susah bagi seorang manusia untuk memalingkan jiwanya dari
hal itu terlebih lagi jika jiwanya telah terbiasa dengannya selama keimanan dan
keyakinannya belum kuat dan kokoh.
Bahkan, setiap orang yang tidak
mau mengikuti Rasul SAW. dan menerima ajaran yang beliau bawa, maka
sesungguhnya dia tidak mengikuti petunjuk, akan tetapi mengikuti hawa nafsunya.
Oleh
karena itu, kita dapati banyak nash yang mencela dan memberi
peringatan dari mengikuti hawa nafsu. Di antaranya, firman
Allah SWT.
فَإِنْ
لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak
mau menyambutmu, ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan
siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa
petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
orang-orang yang berbuat zhalim” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah SWT. berfirman,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ
عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dari mu’awiyah ra. dia
berkata, Rasulullah SAW. bersabda,
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ
تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ
لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو
الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ
“Dan sesungguhnya akan muncul kaum-kaum dari
umatku yang hawa nafsu mengalir pada mereka sebagaimana
penyakit anjing gila mengalir pada penderitanya. Tidak ada
satu urat dan persendianpun melainkan dimasukinya”
Dan Rasulullah SAW. takut terhadap hawa
nafsu, beliau berlindung kepada Allah dengan berdo’a:
اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق ، والأعمال ،
والأهواء
“Ya Allah, aku
berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlaq, amal dan hawa nafsu”
Yang
menjadi masalah bukanlah adanya hawa nafsu pada diri seorang hamba, yang
mendorong untuk menyelisihi Rasulullah. Karena hal itu
(keberadaan hawa nafsu) adalah sebagai medan ujian dan cobaan,
sedangkan seorang hamba tidak menguasainya. Akan tetapi yang menjadi masalah
adalah jika seorang hamba mengikuti hawa nafsunya, mengambil apa yang disukai,
meninggalkan apa yang dibenci, dan menjadikannya sebagai faktor pendorong
perkataan dan perbuatannya baik sesuai ataupun menyelisihi apa yang dicintai
oleh Allah.
Kadang-kadang
hawa nafsu masuk kepada orang yang memiliki keterkaitan dan ikatan dengan
nash-nash. Hawa nafsu itu tidak mendorongnya untuk meninggalkan dan berpaling
dari nash-nash itu secara keseluruhan. Akan tetapi, pertama-tama hawa nafsu itu
membiarkan ia menetapkan apa yang dia inginkan, kemudian mulai beralih kepada
nash-nash itu, sehingga dia mengambil nash yang sesuai dengan hawa nafsunya saja.
Mahmud Syaltut berkata, “terkadang, seorang pemerhati dalil adalah seorang yang
dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga hawa nafsunya itu mendorongnya untuk
menetapkan suatu hukum yang merealisasikan tujuannya. Kemudian dia mulai
mencari-cari dalil untuk dijadikan sandaran dan hujjah dalam
berdebat. Maka pada kenyataannya, orang ini menjadikan hawa nafsunya sebagai
dasar untuk memahami dan menghukumi dalil-dalil. Dan ini berarti membalik perkara tasyri’ (pembuatan syari’at) dan merusak tujuan Syaari’ (pembuat syari’at) di
dalam menegakkan dalil-dalil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini
adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal
harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang
disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’
Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan
dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an
dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran
akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail
al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer,
sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan
dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas
segala-galanya.
Dalam hal beraqidah, aswaja tidak menggunakan ilmu kalam dan
filsafat karena beberapa alasan diantaranya:
1. Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan
menyelisihi Sunnah dan menyelisihi maksudAlloh
dan Rosul-Nya.
2. Ilmu ini tidak pernah
diajarkan oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa
Arab maka sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari
ulama salaf yang membahasnya.
3. Merupakan sebab meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i
telah mengisyaratkan kepada alasan ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi
ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta,
kemudian dia dikelilingkan (diarak) ke kampung seraya dikatakan pada khalayak,
‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju
ilmu kalam/ filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
PokerStars Casino Resort Review - JTM Hub
ReplyDeletePokerStars Casino Resort reviews 남원 출장샵 and scores 청주 출장마사지 for 여수 출장마사지 2021. Learn more about their gaming floor, gaming options and promotions. Rating: 상주 출장안마 3.7 · Review by 익산 출장안마 JT Hub