Wednesday, January 29, 2020

makalah Ahlu Sunnah Waljama'ah (Pengertian syar'i dan akal)


MAKALAH
AHLU SUNNAH WALJAMA’AH
MENDAHULUKAN SYAR’I DIBANDING AKAL

Dosen Pengampu :
Dr.H.Koko Komarudin M.Pd.







Disusun Oleh :
FAQIH HUSAINI AZIZ





PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS JAWA BARAT
2017




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Ridha dan Inayah-Nya lah kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran dan diharapkan kepada seluruh pembaca dapat memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang disampaikan yakni tentang “Mendahulukan Syar’I disbanding Akal”. Kami sangat menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekhilapan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya, yang tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua para pembaca, aamiin.

Darussalam, 17 Desember 2017

Penyusun











KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
A.    LATAR BELAKANG.........................................................................................
B.     RUMUSAN MASALAH.....................................................................................
C.     TUJUAN PENULISAN.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................
A.    PENGERTIAN SYAR’I......................................................................................
B.     PENGERTIAN AKAL........................................................................................
C.     WAJIB MENDAHULUKAN DALIL SYAR’I DARIPADA AKAL..............
D.    ALASAN ASWAJA TIDAK MEMAKAI ILMU KALAM DAN FILSAFAT
E.     ALASAN ASWAJA MENOLAK TERHADAP ORANG YANG MENGIKUTI HAWA NAFSU...............................................................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................................
A.    KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akal adalah segala kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluknya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala ynag dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu tidak akan ditolak.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dari syar’i ?
b.      Apa pengertian akal ?
c.       Kenapa wajib mendahulukan syar’i daripada akal ?
d.      Apa alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat ?
e.       Apa alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti hawa nafsu ?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui pengertian dari syar’i
b.      Untuk mengetahui pengertian akal
c.       Untuk mengetahui kenapa wajib mendahulukan syar’i daripada akal
d.      Untuk mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat
e.       Untuk mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti hawa nafsu



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Syar’i
Kata Syar’i atau Syar’i berdasarkan etimologi sendiri berarti perjalanan yang bisa ditempuh di air, dengan kata lain yaitu jalan yang dapat dilalui oleh manusia menuju Allah Swt. Sedangkan hukum syar’i bisa diartikan merupakan seperangkat hukum atau peraturan dengan merujuk ketentuan dari Allah Swt.
Menurut istilah dari ahli fiqh sendiri, pengertian hukum syar’i ini memiliki arti yaitu hukum yang berkaitan atau berhubungan dengan manusia, tentunya yang dibicarakan berdasarkan ilmu fiqh dan bukan termasuk hukum yang berkaitan dengan akhlak dan akidah.
B.   Pengertian Akal
Secara bahasa ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah(kebijakan) atau juga bisa bermakna tindakan yang baik dan tepat. Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Swt.
C.  Wajib Mendahulukan Dalil Syar’i Daripada Akal
Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, fikiran maupun tidak sesuai dengan perasaan. Maka wajib bagi untuk mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan .
Mendahulukan dalil syar’i atas dalil akal bukan berarti ahlus sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil syar’i yang bertentangan dengan akal mereka. Imam Abul Muzhaffar as-sam’ani rahimahullah (wafat th.489 H)ia mengatakan bahwa Madzhab ahlu sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.
Pandangan ahlussunnah tentang penggunaan akal, diantaranya :
1.      Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
2.      Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
3.      Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.
4.      Akal tidak dapat menentukan hukum  atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
5.      Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syariat . 
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits(syar’i) daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder.
Diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah SAW. baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
"Artinya : Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlussunnah walJama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
"Artinya : Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa : 59)
Akal merupakan nikmat mulia yang Alloh berikan kepada manusia, yang membedakan me­reka dari segala makhluk ciptaan-Nya, yang berfungsi sebagai alat untuk berpikir dan memahami. Akan tetapi, ia memiliki keterbatasan sebagaimana pandangan memiliki keterbatasan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah “Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas. “
Oleh karenanya, Alloh SWT. dan Rosul-Nya tidak menjadikannya sebagai pedoman dan landasan hukum dalam beragama, tetapi Alloh turunkan wahyu (syari’at) untuk menuntun dan menerangi akal dalam memahami syari’at. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa akal bukanlah landasan beragama dan sumber pengambilan hukum.tetapi, yang menjadi dalil dan landasan adalah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Inilah yang ditegaskan oleh ulama Syafi’iyyah. Berikut :
Al-Imam Abu Muzhoffar as-Sam’ani (wafat 489 H) berkata: “Perkataan Ahlus Sunnah adalah sesungguhnya jalan (landasan) agama adalah as-sam’u (al-Qur’an dan Sunnah) dan atsar, metode akal dan kembali kepadanya (kembali kepada akal dan menjadikannya hakim bagi al-Qur’an dan as-Sunnah) serta membangun  dalil di atasnya adalah tercela dan dilarang dalam syari’at.
       Al-Imam an-Nawawi  berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh Ahlus Sunnah adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at dan bahwa akal tidaklah menetapkan se­suatu pun.” Masalah ini merupakan salah satu pembeda antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok lainnya. Abul Muzhoffar as-Sam’ani berkata, “Perbedaan mendasar antara (ahli sunnah) dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas akal dan menjadikan dalil mengikut kepada akal. Adapun Ahlus Sunnah berkata, ‘Asal dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanya­lah mengikut.’ Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu dan nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan, dan dia akan berbicara sesukanya. Seandainya agama dibangun di atas akal maka konsekuensinya adalah boleh bagi kaum mukminin untuk ti­dak menerima sesuatu sehingga menimbang dengan akal mereka terlebih dahulu.”
Al-Imam Sa’ad az-Zanjani salah seorang ulama Syafi’iyyah (wafat 471 H) menjelaskan bahwa akal itu terbagi dua macam: Pertama: Akal yang diberi taufiq, yaitu akal yang mengajak dan membimbing pemiliknya untuk menyetujui dan menerima perintah agama, tunduk, dan pasrah terhadap keputusannya serta meninggalkan larangan agama. Kedua: Akal yang dikekang dan dibelenggu oleh hawa nafsu dan kehinaan, yaitu akal yang berusaha untuk menggapai sesuatu yang ia tidak mampu untuk mengetahui dan memahaminya, se­hingga membawa pemiliknya kepada kebingungan, kesesatan, dan kesengsaraan.”
            Ahlus Sunnah wal Jama’ah-lah yang mempunyai akal yang sehat yang dibimbing oleh Allah sehingga mereka pergunakan akal tersebut untuk memahami dalil dan menaati perintah agama. Adapun akal ahlul bid’ah adalah akal yang sakit karena telah dikekang dan dibelenggu oleh hawa nafsu sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang kebatilan, kesesatan, dan keraguan. Wal ‘iyadzu billah.
D.  Alasan Aswaja Tidak Menggunakan Ilmu Kalam Dan Filsafat
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf dalam mempelajari ilmu kalam, ketiga alasan tersebut beliau simpulkan dari perkataan al-Imam as-Syafi’i rahimahullah
1. Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan menyelisihi Sunnah dan menyelisihi maksud Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena itu, seorang yang ingin memahami al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mantiq maka tidak akan menemukan selama-lamanya maksud syari’at. Oleh karenanya. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah manusia berada dalam kebodohan dan berselisih kecuali tatkala mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung (mempelajari) bahasa Aristoletes (filsafat).”
2. Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa Arab maka sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari ulama salaf yang membahasnya, dan inilah alasan yang dipegang oleh al-Imam Ibnu Sholah dalam memfatwakan haramnya mempelajari mantiq, sebagaimana yang beliau katakan, “Dan tidaklah kesibukan dalam mempelajari dan mengajarkannya sesuatu yang diperbolehkan agama dan diperbolehkan oleh salah seorang sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahidin.” Dan kemungkinan Ibnu Sholah menarik alasan ini dari perkataan al-Imam asy-Syafi’i kepada Bisyr al-Marrisi, “Jelaskan kepadaku tentang apa yang kamu dakwakan? Apakah ada al-Qur’an menjelaskan merupakan suatu kewajiban, apakah ada sunnah yang memerintahkan, dan terdapat di kalangan salaf yang membahas dan menanyakannya?” Dia menjawab, “Tidak ada, tetapi kami tidak boleh menyelisihinya.” Lalu al-Imam asy-Syafi’i menjawab “Berarti kamu mengakui kesalahan untuk dirimu.”
3. Merupakan sebab meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i telah mengisyaratkan kepada alasan ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan (diarak) ke kampung seraya dikatakan pada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/ filsafat.    
E.  Alasan Ahlussunah Waljama’ah Menolak Terhadap Orang  Yang  Mengikuti  Hawa  Nafsu
Mengikuti hawa nafsu dan apa yang disenanginya termasuk penghalang dari ittiba’ dan sebab terbesar terjadinya penyimpangan dari kebenaran. Bahkan seluruh bid’ah dan maksiat muncul dengan sebab didahulukannya hawa nafsu atas nash yang shahih. Hal itu karena tabiat jiwa manusia selalu menginginkan dan cenderung kepada apa yang dia sukai dan senangi. Dan sangat susah bagi seorang manusia untuk memalingkan jiwanya dari hal itu terlebih lagi jika jiwanya telah terbiasa dengannya selama keimanan dan keyakinannya belum kuat dan kokoh.
Bahkan, setiap orang yang tidak mau mengikuti Rasul SAW. dan menerima ajaran yang beliau bawa, maka sesungguhnya dia tidak mengikuti petunjuk, akan tetapi mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, kita dapati banyak nash yang mencela dan memberi peringatan dari mengikuti hawa nafsu. Di antaranya, firman Allah SWT.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak mau menyambutmu, ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zhalim” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah SWT. berfirman,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dari mu’awiyah ra. dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda,
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ 

“Dan sesungguhnya akan muncul kaum-kaum dari umatku yang hawa nafsu mengalir pada mereka sebagaimana penyakit anjing gila mengalir pada penderitanya. Tidak ada satu urat dan persendianpun melainkan dimasukinya”
     Dan Rasulullah SAW. takut terhadap hawa nafsu, beliau berlindung kepada Allah dengan berdo’a:
 اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق ، والأعمال ، والأهواء 
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlaq, amal dan hawa nafsu”
Yang menjadi masalah bukanlah adanya hawa nafsu pada diri seorang hamba, yang mendorong untuk menyelisihi Rasulullah. Karena hal itu (keberadaan hawa nafsu) adalah sebagai medan ujian dan cobaan, sedangkan seorang hamba tidak menguasainya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah jika seorang hamba mengikuti hawa nafsunya, mengambil apa yang disukai, meninggalkan apa yang dibenci, dan menjadikannya sebagai faktor pendorong perkataan dan perbuatannya baik sesuai ataupun menyelisihi apa yang dicintai oleh Allah.
Kadang-kadang hawa nafsu masuk kepada orang yang memiliki keterkaitan dan ikatan dengan nash-nash. Hawa nafsu itu tidak mendorongnya untuk meninggalkan dan berpaling dari nash-nash itu secara keseluruhan. Akan tetapi, pertama-tama hawa nafsu itu membiarkan ia menetapkan apa yang dia inginkan, kemudian mulai beralih kepada nash-nash itu, sehingga dia mengambil nash yang sesuai dengan hawa nafsunya saja. Mahmud Syaltut berkata, “terkadang, seorang pemerhati dalil adalah seorang yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga hawa nafsunya itu mendorongnya untuk menetapkan suatu hukum yang merealisasikan tujuannya. Kemudian dia mulai mencari-cari dalil untuk dijadikan sandaran dan hujjah dalam berdebat. Maka pada kenyataannya, orang ini menjadikan hawa nafsunya sebagai dasar untuk memahami dan menghukumi dalil-dalil. Dan ini berarti membalik perkara tasyri’  (pembuatan syari’at) dan merusak tujuan Syaari’ (pembuat syari’at) di dalam menegakkan dalil-dalil.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya. 
Dalam  hal beraqidah, aswaja tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat karena beberapa alasan diantaranya:
1.      Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan menyelisihi Sunnah dan menyelisihi maksudAlloh dan Rosul-Nya.
2.      Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa Arab maka sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari ulama salaf yang membahasnya.
3.      Merupakan sebab meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i telah mengisyaratkan kepada alasan ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan (diarak) ke kampung seraya dikatakan pada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/ filsafat.






DAFTAR PUSTAKA


1 comment:

  1. PokerStars Casino Resort Review - JTM Hub
    PokerStars Casino Resort reviews 남원 출장샵 and scores 청주 출장마사지 for 여수 출장마사지 2021. Learn more about their gaming floor, gaming options and promotions. Rating: 상주 출장안마 3.7 · ‎Review by 익산 출장안마 JT Hub

    ReplyDelete

Pengertian Anak Didik

A.       Pengertian Anak Didik Anak didik adalah mahluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya ma...