A. Pengertian Anak Didik
Anak didik adalah mahluk yang sedang berada dalam
proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal
kemampuan fitrahnya. (Abuddin Nata, 1997:79)
Anak didik adalah setiap orang yang menerima
pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan
pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai
akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi
kegiatan edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak
kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sebagai pokok persoalan, anak didik
memiliki kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam sebuah
interaksi. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran anak didik sebagai
subjek pembinaan. (Syaiful Bahri
Djamarah, 2005:51)
Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak
hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus
diperlakukan sebagai subyek pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan dengan
cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah
memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandanagn
Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya
dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu dari Allah, maka membawa
konsekuensi perlunya seorang anak didik mendekatkan diri kepada Allah atau
menghiasi diri dengan ahlakyang mulia dan disukai oleh Allah, dan sedapat
mungkin menjauhi perbuatan yang tida disukai oleh Allah. Dalam hubungan ini
muncul aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa bagi seseorang yang
sedang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan
anugerah dari Allah. Hal ini dapat dipahami dari ucapan Imam Syafi’i sebagai
berikut :
Artinya:
“Aku mengadukan masalahku kepada guruku bernama
Waki’, karena kesulitan dalam mendapatkan ilmu (sulit menghafal). Guruku itu
menasihatiku agar menjauhi perbuatan maksiat. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa
ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang
berbuat maksiat.”
B. Hakikat Anak Didik
Dalam
perspektif filsafat pendidikan islam,
hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Anak
didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya
maka semua keturunannya menjadi anak didiknya dalam keluarga.
2. Anak
didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga
pendidikan formal maupun nonformal, seperti sekolah, pondok pesantern, tempat
pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA,
majelis taklim, peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu
sekali atau sebulan sekali, semua orang-orang yang menimba ilmu yang dapat
dipandang sebagai anak didik.
3. Anak
didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan
tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan
berbagai hal yang berkaitan denganproses kependidikan.
Bagi
para pendidik, anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para
pendidik bertanggung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
anak didiknya, terutama ahlaknya. Para pendidik berkewajiban menjaga nama baik
lembaga pendidikan dengan dengan mengajarkan pendidikan ahlak kepada anak
didiknya, para pendidik membina anak didiknya dengan materi pengetahuan yang
sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
Tugas utama anak didik adalah belajar,
menunutut ilmu dan mempraktikkan yang
ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila anak didik menerima mata
pelajaran ilmu agama Islam yang didaalamnya terdapat ilmu ibadah shalat, ilmu
yang diterimanya dapat menjadi penuntun kehidupan ibadahnya. Ilmu tentang
shalat bukan hanya untuk di hafal, tetapi harus diamalkan, sebagaimana ilmu
ahlak mengajarkan tata cara berprilaku menurut ajaran Islam maka ilmu ahlak pun
bukan untuk dihafal, tatapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan
belajar anak didik ditentukan oleh tiga hal mendasar, yaitu :
1. Sikap
anak didik yang mencintai ilmu dan para pendidiknya.
2. Sikap
anak didik yang selalu konsentrasi dalam belajar.
3. Tumbuhnya
sikap mental yang dewasa dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan.
C. Ahlak
Anak Didik
Ahlak
secara etimologi berasal dari kata khalaqa, yang kata asalnya khuluqun, yang
berarti: perangai tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejdian, perbuatan,
adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat. ( Abu Ahmadi dan Nursamlim
1996:198)
Ahlak
merupakan bagian dari pokok ajaran agama islam sebagaimana Nabi SAW bersabda :
“Aku
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan ahlak”. Eksistensi ahlak dalam Islam
bersumber pada iman dan taqwa yang mempunyai tujuan langsung yaitu harga diri
dan mencari ridha Allah SWT.
Asma
Hasan Fahmi menyebutkan empat ahlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu:
1. Seorang
anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia
menuntut ilmu, karena belajar adalah ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali, dengan hati yang bersih. Kebersihan hati tersebut
dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, seperti
dengki, benci, menghasut, takabur. Namun seharusnya diikuti dengan menghiasi
diri dengan ahalak yang mulia seperti bersikap benar, taqwa, ikhlas, zuhud,
ridha dan lain sebagainya.
2. Seorang
anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa
dengan sifat keutamaan mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk mencari
kemegahan dan kedudukan. Dengan ilmu seseorang menjadi mulia, sebagaimana Nabi
Adam as. yang dihormati oleh para malaikat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Muhammad bin al-Hasan Ibn Abdullah dalam sya’irnya:
Artinya
: “Belajarlah kamu, karena ilmu itu adalah hiasan bagi yang memilikinya,
keutamaan dan pertolongan bagi derajat yang terpuji. Dan jadikanlah hari-hari
yang dilalui sebagai kesempatan untuk menambah ilmu, dan berjuanglah dalam
meraih segenap keluhuran ilmu”.
3. Seorang
pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
4. Seorang
anak didik wajib menghormati gurunya.
Ada dua hal yang menjadi titik fokus anak
didik dan orang tua dalam mensucikan dirinya secara totalitas sebelum menuntut
ilmu, yaitu:
1.
Suci rohaniah, yaitu
anak didik harus bisa menjauhkan sifat yang mengotori jiwa dari sucinya al-nur dan
al-haq. Kotornya jiwa akan mengakibatkan tertutupnya sinar illahiyah menembus
kalbu seorang anak didik.
2.
Suci jasmaniah, yaitu
anak didik harus mampu menjauhkan diri dari memakan atau meminum yang dilarang
oleh Allah, baik dari segi jenis maupun dari sumber diperolehnya makanan dan
minuman tersebut.
Zainudin dalam buku filsafat pendidikan
Islam, beliau mengutif hadis shahih Bukhari dan Muslim dalam mengemukakan sifat
dan karakter yang dimiliki anak didik sebagai berikut :
1. Memiliki
sifat tamak dalam menuntut ilmu dan tidak malu-malu.
2. Selalu
mengulang pelajaran di waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu malam.
3. Memanfaatkan
atau mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.
4. Memiliki
keinginan dan motivasi untuk mencari ilmu pengetahuan
Seorang
anak didik hendaklah memilki ahlak yang mulia dan senantiasa mengembangkan
potensi yang dimilkinya dengan sebaik mungkin. Anak didik yang berupaya mencari
ilmu pengetahuan dan membentuk sikap dengan ahlak mulia, maka dalam hal ini
anak didik dituntut bersikap baik pada setiap guru atau pendidiknya.
Sikap-sikap tersebut antara lain : jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu,
jangan lalai dalm menuntut ilmudan jangan cepat merasa puas terhadap ilmu yang
sudah diperoleh, jangan merasa terhalang karena faktor usia, sabar, teguh
pendirian, hormati pendidik sebagai ornag yang telah berjasa dalam membimbing
ke arah yang baik, berbuat baik terhadap guru, teman dan orang tua serta
amalkan ilmu pengetahuan yang telah diberikan demi kemaslahatan umat.
D. Dimensi-dimensi Anak Didik
yang Akan di Kembangkan
1. Dimensi Fisik (Jasmani)
Menurut Widodo Supriyono, manusia
merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk
lainnya. Secara garis besar, ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi
jasmani dan rohani. Secara rohani manusia mempunyai potensi jasmani yang tak
terhingga banyaknya.
Fisik atau jasmani terdiri atas organisme
fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibandingkan organisme
makhluk-makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses penciptaan manusia memiliki
kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari
alam. Setiap alam biotik memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari
unsur tanah, api, udara dan air. Namun meskipun begitu, susunan penciptaan biologis
manusia lebih sempurna daripada makhluk lainnya.
Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki
dua tujuan sekaligus yaitu: Pertama, membina tubuh sehingga mencapai
pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi potensial yang
dimiliki manusia berdasarkan hukum fisik, sesuai dengan perkembangan fisik
manusia.
2.
Dimensi Akal
Al-Ishfahani, membagi akal manusia menjadi
dua macam, yaitu :
a.
Aql al-mathbu, yaitu
akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah illahi. Akal ini
menduduki posisi yang sangat tinggi. Namun demikian, akal ini tidak akan bisa
berkembang n baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal
lainnya yaitu aql al-masmu’
b.
Aql al—masmu’, yaitu
akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.
Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat
bantuan proses penginderaan, secara bebas. Untuk mengarahkan agar akal ini
tetap berada di jalan Tuhan-Nya, maka keberadaan akal masmu’ tidak dapat
dilepaskan.
Sedangkan
fungsi akal manusia terbagi enam, yaitu :
a. Akal
adalah penahan nafsu.
b. Akal
adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun yang
tidak jelas.
c. Akal
adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan.
d. Akal
adalah kesadaran batin dan pengaturan tingkah laku.
e. Akal
adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
f. Akal
adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang sedang
dihadapi. Akal menghimpun semua pecan dari apa yang pernah terjadi untuk
menghadapi apa yang terjadi.
Meskipun demikian, kemampuan akal cukup
terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan bantuan al-qalb. Melaului
potensi al-qalb, manusia dapat merasakan eksistensi arti
immaterial dan kemudian menganalisisnya lebih lanjut. Dalam dunia pendidikan,
fungsi intelektual atau kemampuan akal anak didik dikenal dengan istilah
kognitif. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak
meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan
keyakinan.
Dalam Al-Qur’an, tidak kurang dari 300
kali Allah memperingatkan manusia untuk menggunakan akalnya, terutama dalam
memperhatikan alam semesta. Diantaranya adalah seperti firman Allah SWT :
Artinya:
“Dan dia menundukan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untuk-mu) terdapat dalam perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang mempergunakan akal”. (QS.An-Nahl:12).
Melalui ayat di atas, Allah mengajak
manusia untuk mengembangkan dan mempergunakan akalnya semaksimal mungkin untuk
mengenal dan memanfaatkan alam semesta untuk kepentingan hidupnya. Dengan dasar
ini, jelas bahwa materi dalam pendidikan akal adalah seluruh alam ciptaan Allah
meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesempurnaan, memberi indikasi bahwa
tujuan akal yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengakui dan mempercayai
eksistensi Allah. Tujuan ini merupakan ciri khas pendidikan islam yaitu
internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan) nilai-nilai illahi ke
dalam diri anak didk.
3.
Dimensi Keberagamaan
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan
atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau
disebut homoreligius (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset
dan observasi, hampir semua ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia
terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini
melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan
kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
Dalam pandangan islam, sejak lahir
manusia telah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yang
Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia
telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya. Islam juga memandang ada
suatu kesamaan diantara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak akan
pernah berubah karena pengaruh ruang dan waktu, yaitu potensi dasar beriman
kepada Allah.
4.
Dimensi Akhlak
Salah satu dimensi manusia yang sangat
dibutuhkan dalam pendidikan islam adalah akhlak. Nilai-nilai akhlak dan
keutamaan akhlak dalam masyarakat merupakan aturan yang diajarkan oleh agama.
Dengan konsepsi ini, seorang muslim dikatakan sempurna dalam agamanya bila
memiliki akhlak yang mulia, demikian pula sebaliknya. Filosof pendidikan islam
sepakat, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Sebab, tujuan
tertinggi pendidikan islam adalah pembinaan akhlak al-karimah.
Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam
adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, memiliki kemauan yang keras,
sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat
bijaksana, beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain, pendidikan akhlak
bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah).
Perlu disadari, bahwa pendidikan akhlak terjadi melalui semua segi pengalaman
hidup baik melaui penglihatan, pendengaran dan pengalaman. Pembentukan akhlak
dilakukan setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan
perkembangan, serta proses yang dialami.
5.
Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi
yang sangat penting dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia
agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami
kesempurnaan setelah Allah meniupkan ruh-Nya atas ciptaannya.
Al-ghazali menjelaskan, bahwa: “insan
adalah makhluk yang diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan
jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal dan bashirah, tetapi tidak dengan
panca indera. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah dan ruhnya. Dalam konteks ini,
Al-Ghazali membagi ruh kepada dua bentuk: 1) al-ruh, yaitu daya manusia
untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal tuhannya dan mencapai ilmu
pengetahuan, sehingga dapt menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia
serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam melaksanakan
perintah Allah SWT. 2) an-nafs (jiwa) merupakan tanda adanya kehidupan
pada diri manusia. An-nafs dalam
konteks ini diistilahkan dengan nyawa (al-hayat) yang membedakan manusia
dengan benda mati, tapi tidak membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan
dan tumbuhan, karena sama-sama memiliki an-nafs. Akan tetapi, pada
tingkat esensial eksistensi an-nafs berbeda antara manusia sebagai
makhluk mulia dengan makhluk yang sesat, meskipun sama-sama memiliki an-nafs.
6.
Dimensi Seni (Keindahan)
Seni adalah ekspresi roh dan berdaya
manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan bagian dari
hidup manusia. Allah telah menganugrahkan kepada seluruh manusia berbagai
potensi rohani maupun indrawi, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh
perorangan sesuai kecenderungannya.
Dimensi seni pada diri manusia tidak
boleh diabaikan. Dimensi seni perlu ditumbuhkan karena keindahan dapat
menggerakan dan menengkan batin, meringankan beban kehidupan, serta lebih mampu
menikmati keindahan hidup. Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan
langsung oleh Allah lewat tuntunan-Nya yaitu Al-Qur’an. Nilai keindahan
Al-Qur’an yang demikian tinggi menunjukan kehadiran Illahi dalm objek
pengetahuan manusia. Hal ini disebabkan al-Qur’an adalah ekspresi kebijaksanaan
dan pengetahuan Allah, tuntutan dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintah-Nya.
7.
Dimensi Sosial
Seorang manusia adalah makhluk individual
dan secara bersamaan adalah makhluk social. Keserasian antar individu dan
masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan social dan tujuan
individu. Dalam Islam tanggungjawab tidak terbatas pada perorangan, tetapi juga
social sekaligus.
Setiap individu adalah bagian dari
kelompoknya. Kelompok terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Kelompok yang
paling penting dan besar pengaruhnya adalah keluarga. Karena perkembangan
manusia dimulai sejak lahir. Dalam perkembangan social, setiap individu
menempatkan dirinya diantara individu lainnya. Agen sosialisasi pertama dan utama
bagi seorang anak adalah orang tuanya. Setiap orang tua harus menyadari bahwa
setiap interaksinya dengan anak merupakan kesempatan baik untuk menumbuhkan
benih-benih penyesuaian social dan pembentukan watak yang dapat menghasilkan
sesuatu yang sangat berharga dalam interaksi kemanusiaan. Sebelum anak
menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, stimuli social yang diberikan
dalam kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa social
selanjutnya.
E. Metode Pendidikan Anak
Dalam Islam
1.
Metode pendidikan dengan keteladanan
Metode pendidikan dengan keteladanan sangat
berpengaruh dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos
pada anak. Bahkan Rasulullah punmerupakan suri tauladan yang baik seperti yang
dijelaskan dalam Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 21 :
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah
suri tauladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan
bagi orang yang banyak mengingat Allah.”
Dari hal
tersebut ahlak dan perilakunya layak dijadikan sebagai contoh. Mengingat
pendidik merupakan seorang figur terbaik dalam pandangan anak, baik tingkah
laku atau pun sopan santunnya, akan ditiru oleh mereka.
2.
Metode
Nasihat
Nasihat adalah
kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang
dikehendakinya.Menurut Al-Qur’an metode nasihat itu hanya diberikan kepada mereka
yang melanggar aturan,dan ini bias terjadi tetapi jarang terjadi.Metode ini
bertujuan supaya timbulnya kesadaran pada orang yang dinasehati agar mau insaf
melaksanakan ketentuan hukum atau ajaran yang dibebankan kepadanya.
3.
Metode
Pembiasaan
Cara lain yang
digunakan oleh Al-Qur’an adalah kebiasaan yang dilakukan secara bertahap.Kebiasaan
ditempatakan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.Bila pembawaan yang merupakan
pembiasaan tersebut tidak diberikan Tuhan kepada manusia,tentu mereka hanya
untuk belajar berjalan,berbicara,dan sejenisnya.Tetapi di samoing itu ini juga
dapat dirubah menjadi factor penghalang yang besar,bila kehilangan penggeraknya
dan berubah menjadi kelambanan yang memperlemah dan mengurangi reaksi jiwa.
4.
Metode
Hukum dan Ganjaran
Di dalam
al-Qur’an hukuman biasa di kenal dengan nama azab. Kecenderungana-kecenderungan pendidikan modern sekarang
memandang tabu terhadap hukuman itu,tetapi generasi muda yang ingin dibina
tanpa hukuman itu seperti di Amerika adalah generasi muda yang sudah
kedodoran,meleleh,dan sudah tidak bias dibina lagi eksistensinya.
Tujuan dari
metode ini adalah agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat,dan kembali
menjadi orang yang baik.Dengan demikian,keberadaan hukuman dan ganjaran diakui
dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan
pendidikan.
No comments:
Post a Comment