Wednesday, January 29, 2020

Pengertian Anak Didik


A.      Pengertian Anak Didik
Anak didik adalah mahluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. (Abuddin Nata, 1997:79)
Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi kegiatan edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sebagai pokok persoalan, anak didik memiliki kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek pembinaan.  (Syaiful Bahri Djamarah, 2005:51)
Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandanagn Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang anak didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan ahlakyang mulia dan disukai oleh Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tida disukai oleh Allah. Dalam hubungan ini muncul aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa bagi seseorang yang sedang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah dari Allah. Hal ini dapat dipahami dari ucapan Imam Syafi’i sebagai berikut :
Artinya:
“Aku mengadukan masalahku kepada guruku bernama Waki’, karena kesulitan dalam mendapatkan ilmu (sulit menghafal). Guruku itu menasihatiku agar menjauhi perbuatan maksiat. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.”
B.       Hakikat Anak Didik
Dalam perspektif  filsafat pendidikan islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1.      Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya dalam keluarga.
2.      Anak didik adalah semua anak yang berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, seperti sekolah, pondok pesantern, tempat pelatihan, sekolah keterampilan, tempat pengajian anak-anak seperti TPA, majelis taklim, peserta pengajian di masyarakat yang dilaksanakan seminggu sekali atau sebulan sekali, semua orang-orang yang menimba ilmu yang dapat dipandang sebagai anak didik.
3.      Anak didik secara khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran dan berbagai hal yang berkaitan denganproses kependidikan.
Bagi para pendidik, anak didik adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, para pendidik bertanggung jawab melihat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan anak didiknya, terutama ahlaknya. Para pendidik berkewajiban menjaga nama baik lembaga pendidikan dengan dengan mengajarkan pendidikan ahlak kepada anak didiknya, para pendidik membina anak didiknya dengan materi pengetahuan yang sesuai dengan tujuan lembaga pendidikan yang dimaksudkan.
Tugas utama anak didik adalah belajar, menunutut ilmu dan mempraktikkan  yang ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila anak didik menerima mata pelajaran ilmu agama Islam yang didaalamnya terdapat ilmu ibadah shalat, ilmu yang diterimanya dapat menjadi penuntun kehidupan ibadahnya. Ilmu tentang shalat bukan hanya untuk di hafal, tetapi harus diamalkan, sebagaimana ilmu ahlak mengajarkan tata cara berprilaku menurut ajaran Islam maka ilmu ahlak pun bukan untuk dihafal, tatapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan belajar anak didik ditentukan oleh tiga hal mendasar, yaitu :
1.      Sikap anak didik yang mencintai ilmu dan para pendidiknya.
2.      Sikap anak didik yang selalu konsentrasi dalam belajar.
3.      Tumbuhnya sikap mental yang dewasa dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan.
C.      Ahlak Anak Didik
Ahlak secara etimologi berasal dari kata khalaqa, yang kata asalnya khuluqun, yang berarti: perangai tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejdian, perbuatan, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat. ( Abu Ahmadi dan Nursamlim 1996:198)
Ahlak merupakan bagian dari pokok ajaran agama islam sebagaimana Nabi SAW bersabda :
“Aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan ahlak”. Eksistensi ahlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa yang mempunyai tujuan langsung yaitu harga diri dan mencari ridha Allah SWT.
Asma Hasan Fahmi menyebutkan empat ahlak yang harus dimiliki anak didik, yaitu:
1.      Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah ibadah yang tidak sah dikerjakan kecuali, dengan  hati yang bersih. Kebersihan hati tersebut dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, seperti dengki, benci, menghasut, takabur. Namun seharusnya diikuti dengan menghiasi diri dengan ahalak yang mulia seperti bersikap benar, taqwa, ikhlas, zuhud, ridha dan lain sebagainya.
2.      Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keutamaan mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan untuk mencari kemegahan dan kedudukan. Dengan ilmu seseorang menjadi mulia, sebagaimana Nabi Adam as. yang dihormati oleh para malaikat. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad bin al-Hasan Ibn Abdullah dalam sya’irnya:
Artinya : “Belajarlah kamu, karena ilmu itu adalah hiasan bagi yang memilikinya, keutamaan dan pertolongan bagi derajat yang terpuji. Dan jadikanlah hari-hari yang dilalui sebagai kesempatan untuk menambah ilmu, dan berjuanglah dalam meraih segenap keluhuran ilmu”.
3.      Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
4.      Seorang anak didik wajib menghormati gurunya.
       Ada dua hal yang menjadi titik fokus anak didik dan orang tua dalam mensucikan dirinya secara totalitas sebelum menuntut ilmu, yaitu:
1.      Suci rohaniah, yaitu anak didik harus bisa menjauhkan sifat yang mengotori jiwa dari sucinya al-nur dan al-haq. Kotornya jiwa akan mengakibatkan tertutupnya sinar illahiyah menembus kalbu seorang anak didik.
2.      Suci jasmaniah, yaitu anak didik harus mampu menjauhkan diri dari memakan atau meminum yang dilarang oleh Allah, baik dari segi jenis maupun dari sumber diperolehnya makanan dan minuman tersebut.
       Zainudin dalam buku filsafat pendidikan Islam, beliau mengutif hadis shahih Bukhari dan Muslim dalam mengemukakan sifat dan karakter yang dimiliki anak didik sebagai berikut :
1.      Memiliki sifat tamak dalam menuntut ilmu dan tidak malu-malu.
2.      Selalu mengulang pelajaran di waktu malam dan tidak menyia-nyiakan waktu malam.
3.      Memanfaatkan atau mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.
4.      Memiliki keinginan dan motivasi untuk mencari ilmu pengetahuan
Seorang anak didik hendaklah memilki ahlak yang mulia dan senantiasa mengembangkan potensi yang dimilkinya dengan sebaik mungkin. Anak didik yang berupaya mencari ilmu pengetahuan dan membentuk sikap dengan ahlak mulia, maka dalam hal ini anak didik dituntut bersikap baik pada setiap guru atau pendidiknya. Sikap-sikap tersebut antara lain : jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu, jangan lalai dalm menuntut ilmudan jangan cepat merasa puas terhadap ilmu yang sudah diperoleh, jangan merasa terhalang karena faktor usia, sabar, teguh pendirian, hormati pendidik sebagai ornag yang telah berjasa dalam membimbing ke arah yang baik, berbuat baik terhadap guru, teman dan orang tua serta amalkan ilmu pengetahuan yang telah diberikan demi kemaslahatan umat.
D.      Dimensi-dimensi Anak Didik yang Akan di Kembangkan
1. Dimensi Fisik (Jasmani)              
       Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar, ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan rohani. Secara rohani manusia mempunyai potensi jasmani yang tak terhingga banyaknya.
       Fisik atau jasmani terdiri atas organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibandingkan organisme makhluk-makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam. Setiap alam biotik memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air. Namun meskipun begitu, susunan penciptaan biologis manusia lebih sempurna daripada makhluk lainnya.
       Mendidik jasmani dalam Islam, memiliki dua tujuan sekaligus yaitu: Pertama, membina tubuh sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna. Kedua, mengembangkan energi potensial yang dimiliki manusia berdasarkan hukum fisik, sesuai dengan perkembangan fisik manusia.
2. Dimensi Akal
    Al-Ishfahani, membagi akal manusia menjadi dua macam, yaitu :
a.         Aql al-mathbu, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah illahi. Akal ini menduduki posisi yang sangat tinggi. Namun demikian, akal ini tidak akan bisa berkembang n baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal lainnya yaitu aql al-masmu’
b.         Aql al—masmu’, yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan proses penginderaan, secara bebas. Untuk mengarahkan agar akal ini tetap berada di jalan Tuhan-Nya, maka keberadaan akal masmu’ tidak dapat dilepaskan.
Sedangkan fungsi akal manusia terbagi enam, yaitu :
a.       Akal adalah penahan nafsu.
b.      Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi   sesuatu baik yang tampak jelas maupun yang tidak jelas.
c.       Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan.
d.      Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan tingkah laku.
e.       Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
f.       Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang sedang dihadapi. Akal menghimpun semua pecan dari apa yang pernah terjadi untuk menghadapi apa yang terjadi.
       Meskipun demikian, kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan bantuan al-qalb. Melaului potensi al-qalb, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan kemudian menganalisisnya lebih lanjut. Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal anak didik dikenal dengan istilah kognitif. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan.
       Dalam Al-Qur’an, tidak kurang dari 300 kali Allah memperingatkan manusia untuk menggunakan akalnya, terutama dalam memperhatikan alam semesta. Diantaranya adalah seperti firman Allah SWT :
Artinya: “Dan dia menundukan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untuk-mu) terdapat dalam perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mempergunakan akal”. (QS.An-Nahl:12).
       Melalui ayat di atas, Allah mengajak manusia untuk mengembangkan dan mempergunakan akalnya semaksimal mungkin untuk mengenal dan memanfaatkan alam semesta untuk kepentingan hidupnya. Dengan dasar ini, jelas bahwa materi dalam pendidikan akal adalah seluruh alam ciptaan Allah meneliti sekalian makhluk-Nya dengan penuh kesempurnaan, memberi indikasi bahwa tujuan akal yang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengakui dan mempercayai eksistensi Allah. Tujuan ini merupakan ciri khas pendidikan islam yaitu internalisasi (penanaman) dan transformasi (pembentukan) nilai-nilai illahi ke dalam diri anak didk.
3. Dimensi Keberagamaan
       Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut homoreligius (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir semua ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.
       Dalam pandangan islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya. Islam juga memandang ada suatu kesamaan diantara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak akan pernah berubah karena pengaruh ruang dan waktu, yaitu potensi dasar beriman kepada Allah.
4. Dimensi Akhlak
       Salah satu dimensi manusia yang sangat dibutuhkan dalam pendidikan islam adalah akhlak. Nilai-nilai akhlak dan keutamaan akhlak dalam masyarakat merupakan aturan yang diajarkan oleh agama. Dengan konsepsi ini, seorang muslim dikatakan sempurna dalam agamanya bila memiliki akhlak yang mulia, demikian pula sebaliknya. Filosof pendidikan islam sepakat, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan islam. Sebab, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah pembinaan akhlak al-karimah.
       Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, memiliki kemauan yang keras, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain, pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Perlu disadari, bahwa pendidikan akhlak terjadi melalui semua segi pengalaman hidup baik melaui penglihatan, pendengaran dan pengalaman. Pembentukan akhlak dilakukan setahap demi setahap sesuai dengan irama pertumbuhan dan perkembangan, serta proses yang dialami.
5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)
       Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan ruh-Nya atas ciptaannya.
Al-ghazali menjelaskan, bahwa: “insan adalah makhluk yang diciptakan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal dan bashirah, tetapi tidak dengan panca indera. Tubuhnya dikaitkan dengan tanah dan ruhnya. Dalam konteks ini, Al-Ghazali membagi ruh kepada dua bentuk: 1) al-ruh, yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, mengenal tuhannya dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapt menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia dalam melaksanakan perintah Allah SWT. 2) an-nafs (jiwa) merupakan tanda adanya kehidupan pada diri manusia. An-nafs  dalam konteks ini diistilahkan dengan nyawa (al-hayat) yang membedakan manusia dengan benda mati, tapi tidak membedakannya dengan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, karena sama-sama memiliki an-nafs. Akan tetapi, pada tingkat esensial eksistensi an-nafs berbeda antara manusia sebagai makhluk mulia dengan makhluk yang sesat, meskipun sama-sama memiliki an-nafs.
6. Dimensi Seni (Keindahan)
       Seni adalah ekspresi roh dan berdaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan bagian dari hidup manusia. Allah telah menganugrahkan kepada seluruh manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai kecenderungannya.
          Dimensi seni pada diri manusia tidak boleh diabaikan. Dimensi seni perlu ditumbuhkan karena keindahan dapat menggerakan dan menengkan batin, meringankan beban kehidupan, serta lebih mampu menikmati keindahan hidup. Keberadaan seni dalam Islam telah diperlihatkan langsung oleh Allah lewat tuntunan-Nya yaitu Al-Qur’an. Nilai keindahan Al-Qur’an yang demikian tinggi menunjukan kehadiran Illahi dalm objek pengetahuan manusia. Hal ini disebabkan al-Qur’an adalah ekspresi kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, tuntutan dan petunjuk-Nya, kehendak dan perintah-Nya.
7. Dimensi Sosial
       Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk social. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan social dan tujuan individu. Dalam Islam tanggungjawab tidak terbatas pada perorangan, tetapi juga social sekaligus.
       Setiap individu adalah bagian dari kelompoknya. Kelompok terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Kelompok yang paling penting dan besar pengaruhnya adalah keluarga. Karena perkembangan manusia dimulai sejak lahir. Dalam perkembangan social, setiap individu menempatkan dirinya diantara individu lainnya. Agen sosialisasi pertama dan utama bagi seorang anak adalah orang tuanya. Setiap orang tua harus menyadari bahwa setiap interaksinya dengan anak merupakan kesempatan baik untuk menumbuhkan benih-benih penyesuaian social dan pembentukan watak yang dapat menghasilkan sesuatu yang sangat berharga dalam interaksi kemanusiaan. Sebelum anak menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, stimuli social yang diberikan dalam kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa social selanjutnya.
E.       Metode Pendidikan Anak Dalam Islam
1.      Metode pendidikan dengan keteladanan
Metode pendidikan dengan keteladanan sangat berpengaruh dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos pada anak. Bahkan Rasulullah punmerupakan suri tauladan yang baik seperti yang dijelaskan dalam Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 21 :
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.”
       Dari hal tersebut ahlak dan perilakunya layak dijadikan sebagai contoh. Mengingat pendidik merupakan seorang figur terbaik dalam pandangan anak, baik tingkah laku atau pun sopan santunnya, akan ditiru oleh mereka.
2.        Metode Nasihat
Nasihat adalah kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya.Menurut Al-Qur’an metode nasihat itu hanya diberikan kepada mereka yang melanggar aturan,dan ini bias terjadi tetapi jarang terjadi.Metode ini bertujuan supaya timbulnya kesadaran pada orang yang dinasehati agar mau insaf melaksanakan ketentuan hukum atau ajaran yang dibebankan kepadanya.
3.      Metode Pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah kebiasaan yang dilakukan secara bertahap.Kebiasaan ditempatakan oleh manusia sebagai suatu yang istimewa.Bila pembawaan yang merupakan pembiasaan tersebut tidak diberikan Tuhan kepada manusia,tentu mereka hanya untuk belajar berjalan,berbicara,dan sejenisnya.Tetapi di samoing itu ini juga dapat dirubah menjadi factor penghalang yang besar,bila kehilangan penggeraknya dan berubah menjadi kelambanan yang memperlemah dan mengurangi reaksi jiwa.
4.    Metode Hukum dan Ganjaran
Di dalam al-Qur’an hukuman biasa di kenal dengan nama azab. Kecenderungana-kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu terhadap hukuman itu,tetapi generasi muda yang ingin dibina tanpa hukuman itu seperti di Amerika adalah generasi muda yang sudah kedodoran,meleleh,dan sudah tidak bias dibina lagi eksistensinya.
Tujuan dari metode ini adalah agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat,dan kembali menjadi orang yang baik.Dengan demikian,keberadaan hukuman dan ganjaran diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan.

makalah Ahlu Sunnah Waljama'ah (Pengertian syar'i dan akal)


MAKALAH
AHLU SUNNAH WALJAMA’AH
MENDAHULUKAN SYAR’I DIBANDING AKAL

Dosen Pengampu :
Dr.H.Koko Komarudin M.Pd.







Disusun Oleh :
FAQIH HUSAINI AZIZ





PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS JAWA BARAT
2017




KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas Ridha dan Inayah-Nya lah kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran dan diharapkan kepada seluruh pembaca dapat memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang disampaikan yakni tentang “Mendahulukan Syar’I disbanding Akal”. Kami sangat menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekhilapan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselenggaranya makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya, yang tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua para pembaca, aamiin.

Darussalam, 17 Desember 2017

Penyusun











KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
A.    LATAR BELAKANG.........................................................................................
B.     RUMUSAN MASALAH.....................................................................................
C.     TUJUAN PENULISAN.......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................
A.    PENGERTIAN SYAR’I......................................................................................
B.     PENGERTIAN AKAL........................................................................................
C.     WAJIB MENDAHULUKAN DALIL SYAR’I DARIPADA AKAL..............
D.    ALASAN ASWAJA TIDAK MEMAKAI ILMU KALAM DAN FILSAFAT
E.     ALASAN ASWAJA MENOLAK TERHADAP ORANG YANG MENGIKUTI HAWA NAFSU...............................................................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................................
A.    KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akal adalah segala kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluknya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala ynag dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu tidak akan ditolak.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dari syar’i ?
b.      Apa pengertian akal ?
c.       Kenapa wajib mendahulukan syar’i daripada akal ?
d.      Apa alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat ?
e.       Apa alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti hawa nafsu ?
C.    Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui pengertian dari syar’i
b.      Untuk mengetahui pengertian akal
c.       Untuk mengetahui kenapa wajib mendahulukan syar’i daripada akal
d.      Untuk mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat
e.       Untuk mengetahui alasan ahlussunnah waljamaah menolak terhadap orang yang mengikuti hawa nafsu



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Syar’i
Kata Syar’i atau Syar’i berdasarkan etimologi sendiri berarti perjalanan yang bisa ditempuh di air, dengan kata lain yaitu jalan yang dapat dilalui oleh manusia menuju Allah Swt. Sedangkan hukum syar’i bisa diartikan merupakan seperangkat hukum atau peraturan dengan merujuk ketentuan dari Allah Swt.
Menurut istilah dari ahli fiqh sendiri, pengertian hukum syar’i ini memiliki arti yaitu hukum yang berkaitan atau berhubungan dengan manusia, tentunya yang dibicarakan berdasarkan ilmu fiqh dan bukan termasuk hukum yang berkaitan dengan akhlak dan akidah.
B.   Pengertian Akal
Secara bahasa ‘aql (akal) bisa bermakna al-hikmah(kebijakan) atau juga bisa bermakna tindakan yang baik dan tepat. Sedangkan secara istilah, akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Swt.
C.  Wajib Mendahulukan Dalil Syar’i Daripada Akal
Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar’i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, fikiran maupun tidak sesuai dengan perasaan. Maka wajib bagi untuk mengedepankan dalil syar’i daripada akal dan perasaan .
Mendahulukan dalil syar’i atas dalil akal bukan berarti ahlus sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil syar’i yang bertentangan dengan akal mereka. Imam Abul Muzhaffar as-sam’ani rahimahullah (wafat th.489 H)ia mengatakan bahwa Madzhab ahlu sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.
Pandangan ahlussunnah tentang penggunaan akal, diantaranya :
1.      Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
2.      Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
3.      Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.
4.      Akal tidak dapat menentukan hukum  atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
5.      Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syariat . 
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits(syar’i) daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder.
Diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah SAW. baik secara lahir maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
"Artinya : Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlussunnah walJama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.
"Artinya : Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa : 59)
Akal merupakan nikmat mulia yang Alloh berikan kepada manusia, yang membedakan me­reka dari segala makhluk ciptaan-Nya, yang berfungsi sebagai alat untuk berpikir dan memahami. Akan tetapi, ia memiliki keterbatasan sebagaimana pandangan memiliki keterbatasan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah “Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas. “
Oleh karenanya, Alloh SWT. dan Rosul-Nya tidak menjadikannya sebagai pedoman dan landasan hukum dalam beragama, tetapi Alloh turunkan wahyu (syari’at) untuk menuntun dan menerangi akal dalam memahami syari’at. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa akal bukanlah landasan beragama dan sumber pengambilan hukum.tetapi, yang menjadi dalil dan landasan adalah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Inilah yang ditegaskan oleh ulama Syafi’iyyah. Berikut :
Al-Imam Abu Muzhoffar as-Sam’ani (wafat 489 H) berkata: “Perkataan Ahlus Sunnah adalah sesungguhnya jalan (landasan) agama adalah as-sam’u (al-Qur’an dan Sunnah) dan atsar, metode akal dan kembali kepadanya (kembali kepada akal dan menjadikannya hakim bagi al-Qur’an dan as-Sunnah) serta membangun  dalil di atasnya adalah tercela dan dilarang dalam syari’at.
       Al-Imam an-Nawawi  berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh Ahlus Sunnah adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at dan bahwa akal tidaklah menetapkan se­suatu pun.” Masalah ini merupakan salah satu pembeda antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok lainnya. Abul Muzhoffar as-Sam’ani berkata, “Perbedaan mendasar antara (ahli sunnah) dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas akal dan menjadikan dalil mengikut kepada akal. Adapun Ahlus Sunnah berkata, ‘Asal dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanya­lah mengikut.’ Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu dan nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan, dan dia akan berbicara sesukanya. Seandainya agama dibangun di atas akal maka konsekuensinya adalah boleh bagi kaum mukminin untuk ti­dak menerima sesuatu sehingga menimbang dengan akal mereka terlebih dahulu.”
Al-Imam Sa’ad az-Zanjani salah seorang ulama Syafi’iyyah (wafat 471 H) menjelaskan bahwa akal itu terbagi dua macam: Pertama: Akal yang diberi taufiq, yaitu akal yang mengajak dan membimbing pemiliknya untuk menyetujui dan menerima perintah agama, tunduk, dan pasrah terhadap keputusannya serta meninggalkan larangan agama. Kedua: Akal yang dikekang dan dibelenggu oleh hawa nafsu dan kehinaan, yaitu akal yang berusaha untuk menggapai sesuatu yang ia tidak mampu untuk mengetahui dan memahaminya, se­hingga membawa pemiliknya kepada kebingungan, kesesatan, dan kesengsaraan.”
            Ahlus Sunnah wal Jama’ah-lah yang mempunyai akal yang sehat yang dibimbing oleh Allah sehingga mereka pergunakan akal tersebut untuk memahami dalil dan menaati perintah agama. Adapun akal ahlul bid’ah adalah akal yang sakit karena telah dikekang dan dibelenggu oleh hawa nafsu sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang kebatilan, kesesatan, dan keraguan. Wal ‘iyadzu billah.
D.  Alasan Aswaja Tidak Menggunakan Ilmu Kalam Dan Filsafat
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf dalam mempelajari ilmu kalam, ketiga alasan tersebut beliau simpulkan dari perkataan al-Imam as-Syafi’i rahimahullah
1. Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan menyelisihi Sunnah dan menyelisihi maksud Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena itu, seorang yang ingin memahami al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mantiq maka tidak akan menemukan selama-lamanya maksud syari’at. Oleh karenanya. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah manusia berada dalam kebodohan dan berselisih kecuali tatkala mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung (mempelajari) bahasa Aristoletes (filsafat).”
2. Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa Arab maka sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari ulama salaf yang membahasnya, dan inilah alasan yang dipegang oleh al-Imam Ibnu Sholah dalam memfatwakan haramnya mempelajari mantiq, sebagaimana yang beliau katakan, “Dan tidaklah kesibukan dalam mempelajari dan mengajarkannya sesuatu yang diperbolehkan agama dan diperbolehkan oleh salah seorang sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahidin.” Dan kemungkinan Ibnu Sholah menarik alasan ini dari perkataan al-Imam asy-Syafi’i kepada Bisyr al-Marrisi, “Jelaskan kepadaku tentang apa yang kamu dakwakan? Apakah ada al-Qur’an menjelaskan merupakan suatu kewajiban, apakah ada sunnah yang memerintahkan, dan terdapat di kalangan salaf yang membahas dan menanyakannya?” Dia menjawab, “Tidak ada, tetapi kami tidak boleh menyelisihinya.” Lalu al-Imam asy-Syafi’i menjawab “Berarti kamu mengakui kesalahan untuk dirimu.”
3. Merupakan sebab meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i telah mengisyaratkan kepada alasan ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan (diarak) ke kampung seraya dikatakan pada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/ filsafat.    
E.  Alasan Ahlussunah Waljama’ah Menolak Terhadap Orang  Yang  Mengikuti  Hawa  Nafsu
Mengikuti hawa nafsu dan apa yang disenanginya termasuk penghalang dari ittiba’ dan sebab terbesar terjadinya penyimpangan dari kebenaran. Bahkan seluruh bid’ah dan maksiat muncul dengan sebab didahulukannya hawa nafsu atas nash yang shahih. Hal itu karena tabiat jiwa manusia selalu menginginkan dan cenderung kepada apa yang dia sukai dan senangi. Dan sangat susah bagi seorang manusia untuk memalingkan jiwanya dari hal itu terlebih lagi jika jiwanya telah terbiasa dengannya selama keimanan dan keyakinannya belum kuat dan kokoh.
Bahkan, setiap orang yang tidak mau mengikuti Rasul SAW. dan menerima ajaran yang beliau bawa, maka sesungguhnya dia tidak mengikuti petunjuk, akan tetapi mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, kita dapati banyak nash yang mencela dan memberi peringatan dari mengikuti hawa nafsu. Di antaranya, firman Allah SWT.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak mau menyambutmu, ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zhalim” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah SWT. berfirman,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dari mu’awiyah ra. dia berkata, Rasulullah SAW. bersabda,
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ 

“Dan sesungguhnya akan muncul kaum-kaum dari umatku yang hawa nafsu mengalir pada mereka sebagaimana penyakit anjing gila mengalir pada penderitanya. Tidak ada satu urat dan persendianpun melainkan dimasukinya”
     Dan Rasulullah SAW. takut terhadap hawa nafsu, beliau berlindung kepada Allah dengan berdo’a:
 اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق ، والأعمال ، والأهواء 
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlaq, amal dan hawa nafsu”
Yang menjadi masalah bukanlah adanya hawa nafsu pada diri seorang hamba, yang mendorong untuk menyelisihi Rasulullah. Karena hal itu (keberadaan hawa nafsu) adalah sebagai medan ujian dan cobaan, sedangkan seorang hamba tidak menguasainya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah jika seorang hamba mengikuti hawa nafsunya, mengambil apa yang disukai, meninggalkan apa yang dibenci, dan menjadikannya sebagai faktor pendorong perkataan dan perbuatannya baik sesuai ataupun menyelisihi apa yang dicintai oleh Allah.
Kadang-kadang hawa nafsu masuk kepada orang yang memiliki keterkaitan dan ikatan dengan nash-nash. Hawa nafsu itu tidak mendorongnya untuk meninggalkan dan berpaling dari nash-nash itu secara keseluruhan. Akan tetapi, pertama-tama hawa nafsu itu membiarkan ia menetapkan apa yang dia inginkan, kemudian mulai beralih kepada nash-nash itu, sehingga dia mengambil nash yang sesuai dengan hawa nafsunya saja. Mahmud Syaltut berkata, “terkadang, seorang pemerhati dalil adalah seorang yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga hawa nafsunya itu mendorongnya untuk menetapkan suatu hukum yang merealisasikan tujuannya. Kemudian dia mulai mencari-cari dalil untuk dijadikan sandaran dan hujjah dalam berdebat. Maka pada kenyataannya, orang ini menjadikan hawa nafsunya sebagai dasar untuk memahami dan menghukumi dalil-dalil. Dan ini berarti membalik perkara tasyri’  (pembuatan syari’at) dan merusak tujuan Syaari’ (pembuat syari’at) di dalam menegakkan dalil-dalil.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya. 
Dalam  hal beraqidah, aswaja tidak menggunakan ilmu kalam dan filsafat karena beberapa alasan diantaranya:
1.      Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan dan menyelisihi Sunnah dan menyelisihi maksudAlloh dan Rosul-Nya.
2.      Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur’an dan hadits serta ulama salaf, berbeda dengan bahasa Arab maka sungguh telah terdapat perintah mempelajarinya dan telah ada dari ulama salaf yang membahasnya.
3.      Merupakan sebab meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah, al-Imam asy-Syafi’i telah mengisyaratkan kepada alasan ini dengan perkataannya, “Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan (diarak) ke kampung seraya dikatakan pada khalayak, ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/ filsafat.






DAFTAR PUSTAKA


Pengertian Anak Didik

A.       Pengertian Anak Didik Anak didik adalah mahluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya ma...